TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

Bila Sudah Menyerah Hidupkan Saja Lagi SPP di SMA/SMK

Oleh Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III Univ. Islam Sumatera Barat

Tahun ajaran baru sebentar lagi tiba. Murid-murid baru segera masuk sekolah. Mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang terdiri dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sampai di tingkat SMP tidak ada masalah yang terlalu berat. Kecuali, uang pembeli buku Lembaran Kerja Sekolah (LKS), para orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya rutin bulanan. Itu dengan catatan anak-anak masuk sekolah negeri ya.

Di SMA atau SMK memang agak lain. Para orang tua mesti mengeruk saku mereka tiap bulan. Namanya uang iuran komite. Sifatnya memang sukarela, bukan wajib. Bahasa bagusnya sumbangan komite.

Tapi, sangat susah membedakan sumbangan sukarela dengan sumbangan wajib yang dibalut iuran komite. Praktiknya, komite sekolah membuat daftar sumbangan. Murid atau orang tua/walinya yang belum membayar uang iuran komite biasanya ditanya. Ditanya ya, bukan ditagih. Ditagih itu diksi yang terlalu kasar.

Jumlah minimal iuran komite biasanya ditetapkan. Bukan ditetapkan sepihak, tapi berdasarkan hasil kesepakatan antara komite dan orang tua. Di Sumbar, rata-rata besaran iuran komite adalah Rp. 150.000 per-bulan. Orang tua yang kelebihan rezeki boleh menyumbang lebih. Ada juga sekolah yang menetapkan besaran iuran di bawah Rp. 150.000, tapi itu tidak banyak.  

Saya pernah mencari tahu tentang kebutuhan sekolah terhadap iuran komite ini. Beberapa pihak sekolah saya tanya. Jawaban mereka sama: dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diberikan pemerintah pusat tidak mencukupi kebutuhan sekolah.

Hitungannya begini. Setiap anak yang bersekolah di SMA berhak mendapatkan dana BOS sekitar Rp. 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu rupiah) per-tahun. Jatah SMK biasanya lebih besar, sekitar Rp. 1.700.000/anak per-tahun.

Uang dari Pusat itu tidak cukup. Rata-rata setiap sekolah membutuhkan dana dua kali lipat dari dana BOS. Uang iuran komitelah yang menggenapkan kekurangan itu.

Misal, sebuah SMA memiliki siswa sebanyak 1.000. Dengan begitu, sekolah berhak mendapatkan dana BOS sebesar Rp. 1.600.000.000 (satu miliar enam ratus ribu rupiah) setiap tahun. Sekolah tekor. Uang iuran komite sebesar Rp. 1.600.000.000 (satu miliar enam ratus juta) itulah yang menutupinya. 

Hitungan pendapatan iuran komite hampir sama dengan dana BOS. Yaitu, Rp. 150.000 dikali 1.000 siswa dikali 12 bulan. Didapatlah angka sebesar Rp. 1.800.000.000 (satu miliar delapan ratus ribu rupiah).

Biasanya, pengurus komite menggratiskan pembayaran iuran buat anak yatim-piatu atau dhuafa yang umumnya berjumlah sekitar 10% dari total siswa. Jadi, rata-rata uang komite yang terkumpul di sekolah yang siswanya berjumlah 1.000 adalah Rp. 1.620.000.000 (satu miliar enam ratus dua puluh juta rupiah). Jumlah yang lebih kurang sama dengan kekurangan biaya sekolah setiap tahunnya seperti hitungan di atas.

Praktik di lapangan, pungutan iuran komite selalu jadi masalah. Dari tahun ke tahun begitu. Oknum aparat penegak hukum sering mengertak-gertak pengurus komite dan kepala sekolah. Orang-orang yang mengaku wartawan juga begitu. Tidak itu saja, beberapa orang yang mengklaim diri sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut-ikutan. Bahasanya hampir sama: sekolah dan/atau komite sekolah yang memungut iuran komite akan dipermasalahkan secara hukum.

Secara hukum mereka benar, komite dan/atau sekolah tidak dibenarkan memungut uang dari siswa atau orang tua/walinya. Itu tertera jelas di dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Tapi, lucunya, pungutan dilarang, menerima sumbangan boleh.

Pungutan dan sumbangan memang berbeda, tapi bedanya sangat tipis. Sangat sulit membuat batas demarkasi yang jelas di antara keduanya. Sebagian pengurus komite menerjemahkan bahwa iuran komite yang dibayar setiap bulan disebut sumbangan. Tapi, menurut hukum tidak begitu, setiap iuran yang dibayarkan secara periodik terkategori sebagai pungutan terlarang.   

Pendeknya membingungkanlah. Akibatnya, banyak yang menangguk di air keruh. Oknum aparat penegak hukum nakal, oknum wartawan dan orang-orang yang mengaku aktivis LSM buruk laku meraup untung. Kepala sekolah dan pengurus komite dijadikannya mesin uang kecil-kecilan.

Ini tidak boleh dibiarkan terus. Saran saya, pemerintah daerah harus turun tangan. Larang benarlah komite sekolah memungut iuran dari para murid dan orang tua/wali mereka.

Konsekuensinya tentu ada. Pertama, pemerintah daerah harus menganggarkan kekurangan dana satuan pendidikan di dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Skema berbagi antara pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota bisa dilakukan. Atau, kalau uang pemerintah provinsi cukup, mereka bisa memborong semuanya. Atau sebaliknya.

Kedua, pemerintah mengizinkan sekolah menghidupkan lagi uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) serupa yang berlaku di masa lalu. Pilihan kedua ini sebenarnya lebih kepada bentuk menyerahnya (mengangkat bendera putih) pemerintah daerah. Karena pemerintah tidak punya uang atau tidak sanggup menyediakan uang, biaya pendidikan yang seharusnya jadi beban pemerintah dialihkan kepada para murid dan orang tua/wali mereka.     

Pemerintah jangan malu mengangkat bendera putih. Itu jauh lebih baik ketimbang terus-terusan memosisikan kepala sekolah dan/atau pengurus komite sekolah pada posisi sulit: di bawah ancaman hukuman dan/atau jadi objek pemerasan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.



Komentar0

Type above and press Enter to search.