Oleh Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III Univ. Islam Sumatera Barat
Saya senang. Polisi mulai memberantas preman. Di berbagai daerah, aparat berseragam coklat itu sudah mulai bergerak.
Aksi premanisme memang sudah berlebihan. Sudah seperti tidak bertuan saja negeri ini. Berkuasa pula preman dari pada aparat negara.
Preman ada yang berseragam, ada pula yang tidak. Yang berseragam, ada yang resmi disahkan negara. Ada pula yang dibuat sendiri, sekadar biar kelihatan gagah, sangar dan menakutkan.
Preman berseragam resmi mainnya halus. Gertak-gertak fisik tidak terlalu dominan ketika mereka menjalankan aksi. Meminta jatah proyek adalah cara mereka meraup untung. Biasanya begitu. Jika satu atau dua diantara mereka dilaporkan masyarakat ataupun ditangkap karena perbuatan menyimpangnya, atasannya menyebutnya sebagai oknum saja.
"Yang dilaporkan atau tingkap itu memang anak buah saya, tapi itu oknum. Jangan melakukan generalisasi. Masih banyak anak buah saya yang baik-baik", ini biasanya template jawaban seorang atasan preman berseragam ketika ada anak buahnya yang dilaporkan atau ditangkap karena melakukan aksi premanisme.
Tidak itu saja. Ada pula preman yang selalu menggayutkan kartu tanda pengenal profesi di lehernya. Dia preman, tapi mengaku-ngaku wartawan. Padahal, disuruh menulis berita satu paragraf saja hilang akalnya. Kalaupun bisa, bahasanya bertele-tele. Tidak jelas di mana harus memasang koma dan dimana pula titik harus dipasang.
Ada pula preman yang mengaku-ngaku aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Disebut-sebutnya urusan publik dalam menjalankan aksinya.
"Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tidak dibenarkan mengorupsi uang negara, serupiah sekalipun", ini susunan kalimat yang selalu diulang-ulangnya. Ketika hendak pulang, amplop berisi uang dengan sigap diambilnya.
Aksi premanisme tidak hanya mengganggu investasi. Jauh lebih dari itu. Aksi para preman sudah sangat meresahkan. Hampir tidak ada bidang kehidupan yang bebas dari aksi premanisme.
Sebutlah apa saja. Orang membangun rumah harus membayar uang kemanan kepada orang-orang yang mengaku anak kampung sini (Akamsi). Menurunkan barang dagangan di toko sendiri harus membayar uang "organisasi pekerja". Padahal, tidak ada keringatnya yang menetes karena menurunkan barang. Duduk-duduk di tepi laut menunggu matahari terbenam juga mesti membayar uang duduk. Berhenti sebentar saja di pinggir trotoar harus pula membayar uang parkir. Pendeknya, aksi premanisme sudah benar-benar mengganggu seluruh sendi-sendi kehidupan sosial kita.
Dunia pendidikan juga kena. Yang jadi sasaran biasanya kepala sekolah dan/atau pengurus komite. Penggunaan dana bantuan operasioanal sekolah (BOS) dan iuran komite biasanya pintu masuknya. Ada-ada saja yang ditanyakannya. Semuanya diselidikinya serupa detektif Amerika. Ujung-ujungnya duit juga.
Biasanya, kepala sekolah dan pengurus komite main pendek saja. Dari pada berhabis-habis waktu melayani para preman yang datang, uang takut atau uang koordinasi diberikannya. Sekali beri, jumlahnya memang tidak banyak. Tapi sering dan yang datang silih berganti.
Soal ini sering benar saya menerima curhatan. Preman berseragam resmi dan berkartu pengenal adalah pelaku utama aksi premanisme di sekolah.
Sekarang, sudah saatnya para kepala sekolah dan pengurus komite untuk menghilangkan rasa takut dari ancaman preman. Setiap upaya aksi pemerasan yang dilakukan para preman, segera laporkan kepada aparat kepolisian setempat. Bisa dilaporkan langsung atau menggunakan jasa kuasa hukum. Mana yang enaklah.
Syaratnya tentu ada: kepala sekolah dan pengurus komite memang tidak pernah memain-mainkan dana yang di bawah kewenangan mereka. Sepanjang itu dijaga, semuanya akan aman.
Memberantas aksi premanisme merupakan konsen utama Presiden Prabowo. Terus terang, biasanya saya sangat skeptis dengan beragam operasi-operasi yang dilakukan aparat kepolisian serupa pemberantasan preman ini.
Sekali ini saya mengurangi kadar skeptis itu. Tapi, ada satu hal yang sangat penting kita ingatkan kepada para petinggi kepolisian: di samping memberantas preman yang tidak berseragam atau yang berseragam buatan sendiri, para petinggi kepolisian juga mesti fokus memberantas preman berseragam resmi yang sekantor dengan mereka dan preman-preman lainnya yang datang dari kantor-kantor tetangga mereka.
Komentar0