TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

ILMU VERSUS ‘ELMU’

Emeraldy Chatra

BY : Emeraldy Chatra

ESSAPERS.COM | PADANG - Jauh sebelum Barat memperkenalkan produk kultural mereka yang disebut sains (science, ilmu pengetahuan) masyarakat Nusantara sudah mempunyai sains sendiri yang berbeda coraknya dengan sains Barat. Namanya bukan ilmu, tapi ‘elmu’ atau ‘ngelmu’. Di beberapa tempat di Indonesia disebut ‘elmu’.

Begitu digdayanya sains Barat yang disebarkan secara sistematis ke tengah masyarakat jajahan mengakibatkan sains tradisional tersingkir. Orang yang tidak punya ilmu, tapi menguasai elmu atau elemu turun status jadi orang udik, kampungan, dan bodoh. Padahal sebelum penjajah dari Barat datang mereka berada pada strata atas dalam struktur masyarakat, dianggap cerdik pandai atau intelektual.

Perbedaan mendasar antara ilmu dan elmu adalah keyakinan ontologis kepada dunia gaib. Sains Barat menegasikan dunia gaib karena tidak dapat diobservasi atau dicerap dengan indra. Sains Barat sampai pada doktrin yang paling naif, yaitu menganggap apa yang tidak dapat diobservasi berarti tidak ada. Namun dalam bahasa yang lebih halus dikatakan bahwa dunia gaib bukanlah wilayahnya sains.

Sains Barat bertumpu pada keyakinan bahwa dunia hanya punya satu dimensi, yaitu dimensi yang dapat dijangkau oleh indra. Dunia itu bersifat logis dan empiris. Dunia gaib itu tidak dapat dibuktikan dengan sains, dan pengetahuan yang berusaha menjelaskannya disebut mitologi atau pengetahuan (bukan ilmu) yang menghasilkan mitos. Dalam usaha menghindari mitos, ilmuwan Barat membangun epistemologi yang hanya mampu menjangkau dunia empiris dan yang dapat dipahami secara logis saja.

Dalam pengetahuan tradisional masyarakat non-Barat, termasuk Nusantara, dunia tidak satu dimensi. Di balik dunia ada dunia. Bahkan di balik itu mungkin juga ada dunia lain. Namun ilmuwan Barat menyangkalnya, sesuai dengan doktrin ilmu logis-empiris mereka. Oleh sebab itu dunia berdimensi ganda atau multidimensi tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah yang berorientasi kepada sains Barat atau sains modern.

Kontestasi sains Barat dan elmu menghasilkan dua kelompok pembelajar. Mereka yang menguasai sains Barat disebut ilmuwan. Ilmuwan yang tinggi penguasaan ilmunya  diberi gelar profesor atau guru besar. Pembelajar yang menguasai elmu disebut paranormal, dukun, empu, orang bertuah, orang pandai, orang keramat, dll.

Kemampuan profesor tentu saja berbeda dengan paranormal atau orang pandai karena kepala mereka diisi oleh ontologi dan epistemologi yang berbeda. Ilmuwan Barat menciptakan garis demarkasi agar mereka yang belajar sains Barat tidak lagi belajar elmu. Menurut mereka, pengetahuan di luar kaidah sains Barat bersifat non-rasional atau irrasional. Bahkan dalam bahasa sehari-hari pembelajar sains Barat menggunakan kata-kata yang cenderung mengolok-olok pembelajar elmu untuk menyuburkan stigma. Siapa saja yang mencampur sains Barat dengan elmu dicap sebagai orang aneh, tidak patut, orang stres, dsb.

Selama lebih kurang dua abad pembelajar elmu tidak mendapat tempat yang selayaknya dalam dunia pendidikan. Mereka yang ingin mempelajari elmu harus menyuruk-nyuruk ke rumah dukun dan belajar secara diam-diam pula. Masyarakat yang telah terseret ke pusaran sains Barat menganggap mereka yang belajar elmu hanyalah orang-orang bodoh, pelaku perbuatan syirik, bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai pelaku kejahatan karena mereka bisa menyerang orang yang mereka benci tanpa diketahui.

Apa yang terbangun di tengah masyarakat tentang sains, elmu atau pembelajar sesungguhnya tidak lain hanya persepsi dan konstruksi sosial. Sains Barat mempunyai keterbatasan yang nyata, namun para pembelajarnya mampu memanipulasi persepsi masyarakat.  Mereka berhasil meyakinkan masyarakat bahwa ilmu merekalah yang benar, dan elmu itu salah.

Namun ketika pembelajar sains Barat diminta untuk berjalan di atas air atau bara api yang menyala, tidak ada seorang pun di antara mereka yang mampu, sementara pembelajar elmu ada yang bisa melakukannya. Begitu pun ketika pembelajar sains Barat kucar-kacir ketakutan diterjang peluru, pembelajar elmu ada yang menghadang peluru dengan tubuhnya yang kebal.

Ketika sains Barat sangat dominan peminat elmu tampaknya memang menurun. Banyak jenis elmu yang hilang karena tidak ada lagi yang mempelajari. Namun keyakinan terhadap sains Barat makin lama makin memudar. Adegan-adegan tidak masuk akal di berbagai film atau tayangan televisi sepertinya mendorong orang untuk menoleh kembali kepada elmu. Mereka ingin terbang-terbang seperti burung, berlari di atas air, menaklukan binatang hanya dengan seruan, dll, sebagaimana mereka lihat di layar kaca atau layar bioskop.

Secara tidak sadar pembelajar sains Barat telah memproduksi peralatan yang justru menimbulkan ancaman pada eksistensinya sendiri. Mereka membunuh irrasionalitas, tapi media ciptaan mereka justru bergerak ke arah sebaliknya.

Memudarnya dominasi sains Barat yang rasional-empirisis, yang juga dipicu oleh perlawanan di kalangan pembelajar sains Barat sendiri – yang disebut kaum post-modernis – membuka peluang bagi banyak orang untuk belajar elmu. Mereka mulai tidak percaya bahwa dunia ini berdimensi tunggal. Ada sesuatu yang menarik di dunia gaib. Tidak heran bila mereka yang terdidik dalam sistem pendidikan Barat yang paling ketat sekalipun, seperti berlaku pada seorang akademisi kondang lulusan AS beberapa waktu yang lalu, dapat tertarik dan terseret ke dalam praktek-praktek elmu atau perdukunan.

Sekarang yang getol menyanggah teori Barat bahwa bumi ini bulat juga datang dari negara-negara Barat. Komunitas penyanggah itu lebih yakin bumi ini datar. Orang Indonesia hanya sekedar ikut-ikutan.

#2017

Komentar0

Type above and press Enter to search.