Oleh: Erizal
Belum genap 100 hari memimpin, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sudah mengobrak-abrik standar kepemimpinan seorang kepala daerah yang pernah ada sebelumnya. Baik di level walikota/bupati maupun di level gubernur.
Sebutlah seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Tri Rismaharini alias Risma, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, termasuk Joko Widodo alias Jokowi. Semua lewat. Nyaris tinggal sisa-sisa saja lagi dan tenggelam dalam kepopuleran gaya kepemimpinan seorang Dedi Mulyadi.
Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas'ud yang menggelari Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Konten, justru mengatakan bahwa Dedi Mulyadi adalah inspirasi bagi seluruh Kepala Daerah di Indonesia saat ini dari konten-kontennya yang sangat inspiratif.
Pakar media sosial Ismail Fahmi mengatakan bahwa gaya komunikasi Dedi Mulyadi terlihat lebih natural dan berprinsip. Lebih apa adanya. Bukan tidak ada yang menyoroti negatif, tapi yang positifnya jauh lebih banyak.
Yang melihat negatif bisa jadi karena trauma melihat kepala-kepala daerah yang populer seperti dulu karena ada maunya saja, pencitraan, ada udang di balik bakwan, dan akhirnya masuk angin. Tapi Dedi Mulyadi berhasil melampaui semua itu. Ia masih dianggap bisa berbeda.
Tentu saja tak mudah dilihat berbeda di tengah trauma kepemimpinan yang awalnya dielu-elukan, tapi seketika di ujung berubah kecewa seperti yang terjadi terhadap mantan Gubernur Jawa Barat juga, yakni Ridwan Kamil. Dedi Mulyadi tak akan bisa melakukan itu tanpa rekam jejak yang panjang dan teruji.
Selain terlihat natural dan berprinsip, sebetulnya juga karena panggungnya yang semakin luas. Biasa hanya untuk level kabupaten, kini meningkat di level provinsi. Provinsinya Jawa Barat pula. Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar se-Indonesia. Siapapun yang duduk sebagai Gubernur Jawa Barat, pastilah akan disorot jadi Calon Presiden, minimal Calon Wakil Presiden.
Itulah yang dialami Ridwan Kamil, kemarin. Meski tak pernah juga akhirnya Gubernur Jawa Barat jadi Capres atau Cawapres, tapi setidaknya selalu disorot. Mungkin karena itu Ridwan Kamil pindah ke Jakarta. Sayangnya, Ridwan Kamil kalah dan kini masuk dalam radar KPK dan ada pula masalah wanita. Beruntun-puntun. Dedi Mulyadi menjawab keraguan publik atas pemimpin yang sekadar polesan seperti itu.
Dedi Mulyadi memang tak salah dikatakan sebagai seorang konten kreator. YouTube-nya saja hampir tembus 7 juta, belum yang lainnya. Termasuk, konten kreator papan atas. Mungkin paling atas, kalau untuk level seorang pemimpin.
Sudah punya penonton setia. Apa pun yang dikontenkannya akan diserbu penonton. Aktivitas politiknya tak sekadar aktivitas politik biasa. Selain mendatangkan uang, kontennya juga syarat dengan pembelajaran dan hikmah.
Makanya kontennya diikuti oleh banyak orang. Seandainya Dedi Mulyadi bukan Gubernur Jawa Barat, mungkin dia akan tetap begitu-begitu saja. Tapi, saat panggungnya meluas, saat itulah dia menjadi sorotan se-Indonesia. Dan ia tak merencanakan apa-apa. Hanya melanjutkan saja apa yg telah dilakukannya selama ini.
Ke-kontroversi-an Dedi Mulyadi tak sekadar teknik-teknik komunikasi belaka, tapi ada substansinya. Misalnya, soal penghapusan acara-acara wisuda yang cenderung menyulitkan orang tua siswa. Acara seremonial, tapi gunanya hampir tak ada. Termasuk, pembongkaran kawasan Puncak yang mengakibatkan banjir.
Dedi Mulyadi tak membangun sesuatu yang baru seperti membangun JIS atau Formula E. Tapi ia hanya memperbaiki atau mengkritisi apa yang sudah ada, yang dirasakan sudah tak diperlukan lagi. Terbaru, soal Vasektomi bagi pria untuk mencegah kehamilan bagi keluarga penerima bantuan sosial. Jangan hanya mau bikin anak, tapi tak sanggup menghidupinya.
Dedi Mulyadi juga masuk got atau gorong-gorong seperti dulu dilakukan oleh Jokowi, tapi tak hanya berhenti sampai di situ saja setelah viral. Ia punya pemikiran yang menjadi dialektika di masyarakat. Bukan soal mobil Esemka.
Tampilnya gaya kepemimpinan seperti sosok Dedi Mulyadi yang hanya di level kabupaten menjadi level provinsi, bahkan level Indonesia, semata-mata adalah jalan Tuhan. Siapa yang mengira Ridwan Kamil maju di Jakarta dan kalah, lalu tiba-tiba Dedi Mulyadi menang mudah di Jawa Barat.
Penampilan pisik Dedi Mulyadi sudah khas dari dulunya, tapi siapa sangka dia akan menjadi Gubernur Jawa Barat dengan relatif mudah. Maju calon Wakil Gubernur saja, mendampingi Deddy Mizwar, ia kalah. Bagaimana bisa maju calon Gubernur justru menang mudah dan melejit pula se-Indonesia.
Agaknya ini era atau giliran dari para pemimpin yang natural dan berprinsip tampil kepermukaan. Bukankah Prabowo juga seperti Dedi Mulyadi, pemimpin natural dan berprinsip? Tak ada kelok-kelok yang disembunyikan. Yang terasa itulah yang disampaikan.
Apakah Dedi Mulyadi juga seperti yang lain berminat maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden? Pastinya berminat. Sebab, Dedi Mulyadi adalah tokoh politik yang merangkak benar-benar dari bawah.
Pernah jadi anggota DPRD Kabupaten, jadi Wakil Bupati, jadi Bupati dua periode, maju jadi wakil gubernur kalah, jadi anggota DPR RI, dan kini jadi Gubernur belum genap 100 hari memimpin. Dedi Mulyadi juga masih relatif muda, baru 54 tahun. Tapi dari lika-liku perjalanan hidupnya, rasanya ia tak ingin sesuatu yang instan.
Selain faktor Prabowo yang masih akan maju pada periode kedua, ia juga kader Gerindra yang sulit untuk dipasangkan, tapi entahlah. Dedi Mulyadi akan lebih baik menjabat Gubernur dua periode. Trauma publik akan pejabat populer hanya mengejar posisi lebih tinggi harus dihapuskan. Lagian tak bisa juga akhirnya berbuat banyak.
Komentar0