Prof Masri Mansoer saat menjadi narasumber Rapat koordinasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), di ruang pertemuan Islamic  Centre Kotobaru Solok.(18/09/2023)

ESSAPERS | Koto Baru, Solok
— “Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-Anfal: 53)

Ayat tersebut menjadi pembuka penyampaian Prof Masri Mansoer ketika menjadi narasumber pada kegiatan Rapat koordinasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Senin (18/09) bertempat di ruang pertemuan Islamic  Centre Kotobaru Solok.

Turut hadir dalam Rapat Koordinasi tersebut, Kepala Kantor Kementerian Agama solok, H. Zulkifli, MM, Ketua MUI Sumatera Barat Dr. H. Gusrijal Gazahar, Ketua MUI Kabupaten Solok Aprijal Harun, S.Ag, dan Ketua BAZNAS Kabupaten Solok Edwar, S.Pd., MM, para pengurus MUI, ketua MUI tingkat Kecamatan sekabupaten Solok, para alim ulama serta tamu undangan.

Lebih jauh, Prof Masri menjelaskan tentang Industrial Revolution yang merupakan perubahan berskala besar dalam dunia industri sehingga menjadikan setiap proses yang terjadi lebih efektif dan efisien dengan hasil yang maksimal, namun juga melahirkan sisi negatif yang perlu menjadi perhatian bersama.

“Revolusi industri terjadi ditandai 4 masa/penemuan, yaitu 1.0 (1760-1840) dengan penemuan mesin uap, 2.0 (1870-an) ditemukannya listrik, kemudian 3.0 (1970-an) serba matic/otomatisasi mulai merebak dan saat ini masuk pada revolusi industry 4.0 ditandai dengan penemuan teknologi pintar,” jelasnya.

Masih menurutnya, bahwa kemajuan teknologi ini menciptakan konektivitas antara Manusia–Data–Mesin secara cepat. Teknologi baru yang belum pernah ada sebelumnya pun bermunculan di era ini seperti ojek online, tarik tunai lewat ponsel, sampai warung digital dan lain sebagainya.

“Namun, perlu kita sadari, bahwa revolusi industry ini juga berdampak pada kegiatan sosial budaya dan agama, apa yang terjadi pada suatu tempat secara mudah dapat dibaca, didengar dan dilihat dalam waktu relatif singkat oleh masyarakat secara massif. Selain dampak positif yang diperoleh, namun sisi negatif pun selalu membersamai, di mana terjadinya infiltrasi budaya-budaya asing yang bisa saja sebagian besar tidak cocok dengan budaya kita, bahkan berdampak disrupsi, seperti pergaulan bebas” tandas Masri.

Lebih dari itu, lanjut Masri, dampak negatif yang akan muncul adalah budaya-budaya barat yang terlalu bebas dapat mempengaruhi keberagamaan Masyarakat, pendangkalan Aqidah, penyebaran paham sesat dan eskstrim serta hal negatif lainnya.

Disrupsi dan Isu-isu Keagmaan

Sebelum memberikan saran dan solusi menghadapi dampak negatif revolusi industri, Prof Masri sedikit menjelaskan tentang disrupsi. Dijelaskannya, bahwa disrupsi adalah suatu “hal tercabut dari akarnya”. Jadi disrupsi merupakan keadaan di mana terjadi suatu perubahan besar yang menyebabkan berubahnya sebagian besar atau bahkan keseluruhan tatanan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk juga dalam kehidupan beragama.

Mengutip Christensen (1997) dalam bukunya memperkenalkan istilah Disruptive Innovation, yaitu suatu perkembangan baru karena adanya inovasi yang mengubah bagaimana cara, struktur, serta fungsi bisnis dan industry.

Untuk memahami era disrupsi, Prof Masri menyarankan menggunakan analisis VUCA yaitu volatility yang bermakna dunia berubah cepat. Uncertainty yang artinya masa depan penuh dengan ketidakpastian, complexity artinya dunia modern lebih kompleks dari sebelumnya, dimana kerumitan dan saling mempengaruhi terjadi. Dan Ambiguity, artinya lingkungan kehidupan semakin membingungkan. Setiap situasi dapat menimbulkan banyak penafsiran dan persepsi.

“Saat ini, banyak trend keberagamaan para milenial cenderung memilih yang praktis, instant, anti dogmatis, solutif dengan persoalan di sekitar dan figuristik. Berubahnya cara dan belajar beragama menjadi fenomenal seperti belajar agama tidak lagi melalui ulama yang “bernasab” secara keilmuan,  muslim tanpa masjid, dimana media sosial menjadi tempat belajar agama. Terjadi kedangkalan makna beragama dan keberlimpahan informasi yang tersedia yang menyebabkan matinya otoritas keagamaan menjadi fenomena dan tantangan bagi ulama dan tokoh agama (MUI)” ungkap Profesor asli Solok ini

Tugas Semakin Berat

Ditambahkannya, bahwa tugas ulama (MUI) semakin berat, tantangan hadirnya era disrupsi yang membawa perubahan mendasar dan pengaruh yang cepat harus disikapi dengan saling menopang, menjaga persatuan dan martabat keulamaan. Konsep dan respon MUI dalam menghadapi era disrupsi adalah konsisten sebagai pengawal, pemberi edukasi dan pembimbing, penjaring kader-kader yang lebih baik, dan pemberi solusi bagi masalah keagamaan lokal, nasional dan internasional

MUI harus aktif melakukan kegiatan kajian keagamaan, menambah wawasan dan gerakan penguatan strategi berjejaring literasi digital disemua tingkatan nagari, kecamatan dan kabupaten. Strategi aktualisasi bagi tokoh agama (MUI) dalam era disrupsi ini antara lain kukuh pada nilai inti Al-Islam (Aqidah, Ibadah, akhlak dan mu`amalah), berusaha menjadi teladan dalam perilaku, bermanfaat dan memiliki tanggungjawab sosial serta cerdas dalam literasi digital dan mampu mengelola perubahan agar mencapai religiusitas yang mencerahkan dengan menggunakan akal/ilmu pengetahuan dalam memahami dan mengamalkan agama,” pesan Prof Masri.

Diakhir pemaparannya, Prof Masri menjelaskan bahwa manusia masa kini sebagai manusia yang berorientasi pada iptek, namun cenderung pragmatis dan profan. Sehingga diperlukan transformasi kebudayaan secara menyeluruh untuk membangun alam pikiran modern, orientasi cara berpikir, bersikap dan bertindak ke arah peradaban yang berkemajuan dan rahmatan lil `alamin di tengah era yang tidak pasti seperti saat ini.

“Jadi era disrupsi saat ini religiusitas yang mencerahkan sangat diperlukan, religiusitas yang mencerahkan tersebut bisa diperoleh dengan metode dan pendekatan tertentu yang dapat dilakukan dalam proses kegiatan kajian yang terprogram dan perkaderan. Hal ini menjadi kebutuhan dalam proses mengokohkan tugas dan fungsi MUI, dimana harus disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan ummat agar program menjadi efektif,’ tegas Prof Masri sekaligus menutup pemaparannya. (R/W/tim)