ESSAPERS.COM | PADANG ~ Sebuah peristiwa penting terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda diikrarkan. Menurut catatan sejarah, Sumpah Pemuda berlangsung pada gelaran Kongres Pemuda ke 2 yang merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda pertama yang digelar sekitar 3 tahun sebelumnya: 15 Agustus 1925.
Teks Sumpah Pemuda yang dirumuskan oleh M Yamin dan kawan-kawan berkumandang lantang di gedung Indonesische Clubgebouw. Bunyinya begini: Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia; Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda merekat rasa kebangsaan para pemuda Indonesia, waktu itu. Asa kemerdekaan bangsa Indonesia semakin mengental di dada para pemuda dan pejuang bangsa setelah Sumpah Pemuda dibacakan. Tidak bisa dipungkiri, Sumpah Pemuda berperan sangat penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.
Selain teks Sumpah Pemuda yang heroik, ada satu peristiwa penting lagi yang terjadi pada 28 Oktober 1928. Yaitu, diperdengarkannya untuk pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu Kebangsan ciptaan WR Soepratman itu dinyanyikan pada saat penutupan Kongres. Yang menyanyikan Dolly Salim, anak tertua H Agus Salim. Gesekan biola WR Soepratman mengiringinya.
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya memperkenalkan diksi penting: bangunlah jiwanya. Diksi "Bangunlah Jiwanya" kemudian diikuti dengan diksi "Bangunlah Badannya".
WR Soepratman menyebut diksi "Bangunlah Jiwanya" lebih dulu. Ada 2 rahasia penting mengapa diksi "Bangunlah Jiwanya" disebutkan lebih dulu. Pertama, membangun jiwa penting, bahkan lebih penting ketimbang membangun badan. Dalam kehidupan sehar-hari, yang penting-penting biasanya didahulukan. Misalnya, karena jabatan gubernur dianggap lebih penting dari pada jabatan walikota, dalam acara-acara resmi yang dihadiri gubernur dan walikota, nama gubernur dan jabatannya disebutkan lebih dulu.
Kedua, membangun jiwa itu sulit. Lebih sulit dari pada membangun badan. Membangun badan (baca juga membangun fisik), sangat tergantung uang. Ada uang, kita bisa membangun jembatan panjang. Ada uang kita juga bisa membangun gedung tinggi menjulang.
Membangun jiwa tidak melulu tergantung uang. Uang banyak tidak menjamin pembangunan jiwa berjalan sukses. Sudah terbukti. Konstitusi mengamanatkan paling tidak dua puluh persen dana negara (APBN) dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan (Pasal 31 ayat (4) UUD 1945).
APBN kita rata-rata Rp. 3.000 Triliun per-tahun. Dua puluh persen dari Rp. 3.000 Triliun adalah Rp. 600 Triliun. Angka Rp. 600 Triliuan bukan jumlah yang kecil. Poin penting saya, meskipun lembaga pendidikan yang merupakan institusi utama pembangunan jiwa sudah mendapatkan kucuran uang sebesar Rp. 600 Triliun setiap tahun, negara kita masih saja diisi oleh orang-orang yang belum terbangun jiwanya. Faktanya? Sampah berserakan di mana-mana, jalan raya kita masih amburadul, korupsi merajalela, tawuran terjadi di banyak tempat, dan lain sebagainya.
Dengan menyebutkan diksi "Bangunlah Jiwanya", WR Soepratman seolah memperingatkan kita: "Wahai generasi setelah ku, membangun jiwa itu penting dan sulit. Oleh karena itu, saya tuliskan diksi "Bangunlah Jiwanya" lebih dahulu agar kelak kalian selalu ingat dan berhati-hati dalam mengelola bangsa ini".
Sekarang, setelah 96 tahun (28 Oktober 1928 - 28 Oktober 2024) berlalu, peringatan WR Soepratman itu terasa aktual. Meskipun sudah diguyur uang yang banyak (Rp. 600 Triliun) setiap tahunnya, kehidupan sosial kita masih amburadul. Mari kita jadikan peringatan Sumpah Pemuda ini sebagai momentum perbaikan strategi pembangunan jiwa kita.
Padang, 28 Oktober 2024 Oleh Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III Universitas Islam Sumatera Barat
Komentar0