Miko Kamal |
ESSAPERS.COM | PADANG ~ Jika anda seorang raja, anda bebas. Bebas melakukan apa saja yang anda suka.
Mau berbidang-bidang tanah? Silakan tunjuk tanah mana yang anda mau, dalam sekejap tanah beserta suratnya akan berpindah ke tangan anda.
Mau mobil mewah? Anda tinggal sebut merek berikut kapasitas silindernya. Dalam hitungan menit, mobil beserta surat-suratnya akan sampai di depan istana anda.
Mau naik private jet ke luar negeri? Ah, itu gampang. Abdi dalem anda tinggal telepon pemiliknya. Dalam waktu singkat, anda tinggal menenteng koper kecil ke bandara. Termasuk untuk para pangeran dan isterinya.
Ingin mengangkat pangeran jadi raja lebih cepat? Ah, kerja geleng itu. Tinggal suruh pembaca undang-undang membereskan semua aturan yang mungkin menghambat.
Boleh begitu? Ya, bolehlah. Namanya saja raja. Raja tidak pernah salah.
Di negara kerajaan zaman dulu, raja adalah segalanya. Titahnya adalah hukum. A kata raja, A pula yang harus dijalankan. Jangan coba-coba menentang raja. Sebab, penentang raja sama dengan musuh negara. Begitu benarlah.
Di negara hukum, presiden dan/atau pejabat negara, termasuk pejabat di daerah-daerah bukanlah raja. Mereka budak hukum yang harus menunduk dalam-dalam di hadapan hukum. Mereka harus tunduk setunduk-tunduknya kepada segenap aturan yang ada.
Pembuat Konstitusi kita sudah bersepakat: "Negara Indonesia adalah negara hukum". Itu sudah tercatat jelas di dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
Tapi, jangan salah kira ya. Saat ini, saya tidak membahas "Raja Jawa" yang beberapa waktu yang lalu disebut-disebut oleh Ketua Umum Golkar dan Menteri ESDM Bahlil itu. Biarkan sajalah itu, tak usah terlalu dipikirkan. Toh, sebulan lebih sedikit lagi, "Raja Jawa" akan "Lengser Keprabon" juga.
Saya hanya mau mengingatkan, pejabat negara serupa gubernur, bupati dan walikota beserta wakilnya bukanlah raja. Mereka tidak boleh bertindak sesuka hati bakkan raja. Segenap ucapan dan tindakannya harus sesuai hukum yang berlaku. Tergelincir sedikit saja, hukuman siap menunggu.
Dalam soal Pilkada, misalnya. Seorang gubernur diatur hukum agar berucap dan bertindak netral. Dia boleh punya jagoan siapa yang diinginkannya jadi bupati dan walikota di sebuah daerah kabupaten atau kota. Tapi, itu harus disimpannya dalam hati saja. Di internal partai, kelompok atau keluarganya boleh dibicarakannya. Keluar jangan. Sebab, ada hukum yang menungkainya sebagai konsekuensi dari Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
Tidak percaya? Bacalah lambat-lambat Pasal 71 Ayat (1) UU Pilkada: "Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon".
Maksud Pasal ini adalah, seorang pejabat negara (termasuk juga gubernur) bukanlah raja yang bisa seenaknya menentukan siapa yang akan jadi bupati atau walikota di daerahnya. Preferensi politik boleh, tapi itu harus disimpannya rapat-rapat bila dia sedang berada di ruang publik.
Pasal 71 Ayat (1) UU Pilkada juga bermaksud menjaga marwah gubernur dan pejabat negara lainnya di depan publik. Gubernur dan pejabat negara lainnya itu bermarwah besar. Pembuat UU tidak mau marwah seorang gubernur dan pejabat negara lainnya direndahkan hanya karena pilihan politiknya berbeda dengan rakyatnya.
Ada yang mengira, Pasal 71 Ayat (1) UU Pilkada ini baru berlaku ketika pasangan calon sudah ditetapkan. Maksudnya, sebelum pasangan calon ditetapkan, gubernur dan pejabat negara lainnya boleh sebebas-bebasnya menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu bakal pasangan calon kepala daerah.
Saya tidak mau berdebat soal itu. Baca saja dengan seksama Pasal 71 Ayat (3) UU Pilkada yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Pasal 71 Ayat (1) yang sudah saya kutipkan di atas.
Bunyinya begini: "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih".
Makna penting dari Pasal 71 Ayat (3) UU Pilkada ini adalah bahwa bila seorang gubernur dan pejabat negara lainnya menginginkan seseroang jadi kepala daerah, persiapkanlah jauh-jauh hari secara natural. Gubernur dan pejabat negara lainnya tidak boleh lagi cawe-cawe dalam urusan pencalonan kepala daerah bila waktu hanya tersisa 6 bulan dari tanggal penetapan pasangan calon.
Pembuat UU Pilkada serius soal ini: hukuman akan dijatuhkan kepada seorang gubernur dan/atau pejabat negara lainnya yang memperlihatkan keberpihakannya kepada salah satu bakal pasangan calon terhitung 6 bulan atau kurang sebelum penetapan calon.
Hukumannya tertulis jelas di dalam Pasal 188 UU Pilkada, yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000 (enam ratus ribu) atau paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah).
Jelas perbedaan antara raja dan pejabat negara kan? Raja boleh berucap dan bertindak seenaknya, sedangkan gubernur dan/atau pejabat negara lainnya diatur oleh hukum dalam berucap dan bertindak.
Miko Kamal Ketua DPC Peradi Padang
Padang, 9 September 2024
(Diterbitkan di http://padek.jawapos.com)
Komentar0