Oleh Syafruddin Karimi
Departemen Ekonomi Universitas Andalas
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 mengubah secara halus arah kebijakan Dana Desa. Aturan ini meletakkan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai salah satu syarat pencairan Dana Desa. Secara retorik, pemerintah menyebutnya upaya memperkuat kelembagaan ekonomi desa. Dalam praktik, syarat baru ini menggeser posisi Dana Desa dari instrumen otonomi lokal menjadi alat kendali fiskal dari pusat yang sangat kuat.
Selama ini, Dana Desa lahir dari janji desentralisasi: negara mengakui desa sebagai subjek yang berhak menentukan prioritas pembangunan dan kelembagaannya sendiri. PMK 81/2025 membelokkan janji tersebut. Ketika pencairan dana bergantung pada berdirinya Koperasi Merah Putih, desa tidak lagi bergerak dari peta kebutuhan warga, tetapi dari daftar kewajiban administrasi yang ditentukan pusat. Kepala desa dan aparatnya terdorong menanyakan satu hal: “Apa yang harus dipenuhi agar dana turun?” bukan “Apa yang paling dibutuhkan warga sekarang?”.
Risiko terbesar muncul pada desa yang lemah secara administratif. Desa terpencil, kecil, dan miskin aparatur akan kesulitan memenuhi syarat akta koperasi, rapat formal, dan surat komitmen APBDes. Desa dengan staf lengkap dan akses pendampingan hukum melaju lebih cepat. Akibatnya, desa yang paling membutuhkan Dana Desa justru berpotensi paling sering tertunda pencairannya. Kebijakan yang seharusnya memperkecil ketimpangan antardesa justru membuka jalan bagi kesenjangan baru: desa kuat semakin leluasa mengakses dana, desa rentan semakin terhambat.
Di sisi lain, syarat koperasi mendorong lahirnya fenomena “koperasi kertas”. Pemerintah desa berlomba menyiapkan akta, struktur, dan dokumen agar tidak kehilangan akses Dana Desa. Koperasi memang berdiri di atas dokumen, tetapi tidak hidup di tengah warga. Rapat berlangsung, berita acara tersusun, sementara aktivitas ekonomi tidak tumbuh. Warga hanya mengenal nama koperasi sebagai item dalam laporan, bukan sebagai wadah yang memperkuat posisi tawar petani, nelayan, atau pelaku usaha mikro. Koperasi seperti ini patuh pada format regulasi, bukan pada kebutuhan nyata desa.
Syarat dukungan APBDes terhadap Koperasi Merah Putih juga mengubah arah belanja desa. Pemerintah desa terdorong mengalokasikan anggaran untuk memelihara program koperasi, agar penyaluran dana tahun berikutnya tidak terganggu. Proyek yang terkait koperasi berpeluang menyerap porsi anggaran yang signifikan. Sementara itu, kebutuhan dasar seperti jalan desa yang rusak, air bersih, posyandu, maupun perbaikan sekolah berisiko turun dari prioritas utama ketika ruang fiskal menyempit. Distorsi alokasi sumber daya pun menguat: uang publik lebih sering mengikuti keharusan regulasi daripada mengikuti peta kebutuhan warga.
Dari sudut ekonomi politik, pola ini menunjukkan ciri institusi ekstraktif. Pusat memegang keran fiskal dan sekaligus memegang desain kelembagaan yang harus desa ikuti. Desa tidak menerima dana sebagai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, tetapi sebagai insentif untuk patuh pada satu model kelembagaan yang lahir jauh dari konteks sosialnya. Desa berfungsi sebagai pelaksana program, bukan sebagai komunitas politik yang berdaulat. Dalam tatanan seperti ini, kekuasaan dan kontrol mengalir ke atas, sedangkan beban administratif dan risiko politik tertumpuk di bawah.
Padahal, negara bisa menempuh jalur berbeda. Pemerintah tetap dapat menjaga akuntabilitas Dana Desa tanpa memaksakan satu format koperasi. Negara bisa menetapkan prinsip umum: transparansi, partisipasi warga, dan pengawasan yang kuat. Bentuk kelembagaan ekonomi dibiarkan beragam sesuai konteks lokal: BUMDes, koperasi yang tumbuh organik, kelompok usaha bersama, serta jaringan ekonomi tradisional yang sudah lama berjalan. Pendekatan seperti ini menghormati hak desa untuk menentukan kelembagaannya sendiri, dan sekaligus memperkuat rasa memiliki warga terhadap Dana Desa.
Gugatan terhadap syarat Koperasi Merah Putih bukan penolakan terhadap ide koperasi itu sendiri. Koperasi tetap relevan sebagai alat penguatan ekonomi rakyat. Yang perlu dikritik adalah cara negara menjadikan model kelembagaan tertentu sebagai pintu wajib bagi aliran Dana Desa. Jika pemerintah sungguh ingin membangun desa yang berdaya, kebijakan harus kembali pada logika awal: Dana Desa memperkuat otonomi dan kreativitas lokal, bukan mengokohkan institusi ekstraktif yang mengutamakan kepatuhan pada format birokrasi pusat. Desa membutuhkan ruang untuk menentukan jalannya sendiri, bukan sekadar ruang untuk menandatangani komitmen yang sudah disiapkan di Jakarta.

%20-%20Dibuat%20dengan%20PosterMyWall%20(2)%20(1).jpg)
Komentar0