TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

Membangun Kembali Pertanian Sumatra Usai Bencana

 


Oleh : Syafruddin Karimi

Departemen Ekonomi                        Universitas Andalas Padang 

Bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memaksa Indonesia menilai ulang cara memulihkan sektor pangan. Kompas edisi 19 Desember 2025 melaporkan sekitar 70.000 hektar persawahan terdampak, sekitar 11.000 hektar mengalami puso, banyak lahan tertutup lumpur sampai patok kepemilikan hilang, tumpukan kayu menghambat pembukaan lahan, dan jaringan irigasi rusak. Sumber yang sama menegaskan pemulihan sawah rusak berat dapat memakan sekitar enam bulan, sedangkan pemulihan mata pencaharian petani padi membutuhkan sekitar satu tahun karena penanaman realistis baru berjalan pada Mei 2026 dan panen baru hadir sekitar Agustus 2026. Data ini menunjukkan krisis yang menyentuh aset produksi dan kehidupan keluarga petani sekaligus.


Bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memaksa Indonesia menilai ulang cara memulihkan sektor pangan. Kompas edisi 19 Desember 2025 melaporkan sekitar 70.000 hektar persawahan terdampak, sekitar 11.000 hektar mengalami puso, banyak lahan tertutup lumpur sampai patok kepemilikan hilang, tumpukan kayu menghambat pembukaan lahan, dan jaringan irigasi rusak. Sumber yang sama menegaskan pemulihan sawah rusak berat dapat memakan sekitar enam bulan, sedangkan pemulihan mata pencaharian petani padi membutuhkan sekitar satu tahun karena penanaman realistis baru berjalan pada Mei 2026 dan panen baru hadir sekitar Agustus 2026. Data ini menunjukkan krisis yang menyentuh aset produksi dan kehidupan keluarga petani sekaligus. Publik sering melihat bencana pertanian sebagai kerugian panen yang bersifat musiman. Cara pandang ini mengecilkan skala masalah. Bencana memukul petani melalui guncangan arus kas yang brutal: pendapatan hilang, pengeluaran tetap berjalan. Produksi padi mengikuti kalender biologis, sehingga petani tidak bisa “mengejar” waktu yang hilang. Saat satu musim tanam lewat, keluarga petani menanggung jeda penghasilan panjang. Ketika negara hanya menghitung hektar yang dipulihkan, negara berisiko mengabaikan biaya sosial yang membesar di tingkat rumah tangga.

Kerusakan fisik sawah juga memunculkan problem ekonomi-politik yang sering tidak terlihat. Hilangnya patok lahan membuat proses verifikasi kepemilikan rawan tersendat dan membuka peluang konflik. Administrasi batas bidang yang lamban akan menunda pekerjaan alat berat, memperpanjang pemulihan irigasi, dan meningkatkan biaya. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan bisa terpancing mengejar target yang mudah dipamerkan panjang saluran yang diperbaiki, jumlah alat berat yang turun padahal inti pemulihan terletak pada kemampuan petani kembali menanam dan bertahan hidup selama masa transisi.

Indonesia perlu memandang pemulihan sebagai paket yang menggabungkan rekonstruksi lahan dan perlindungan nafkah. Pembersihan lumpur dan kayu harus berjalan cepat, disertai rehabilitasi irigasi yang memulihkan suplai air. Pemerintah perlu menata ulang lahan yang tersapu banjir, memperbaiki struktur tanah, lalu menyiapkan benih dan dukungan mekanisasi agar pengolahan tanah tidak memakan waktu terlalu panjang. Langkah teknis ini wajib, tetapi langkah teknis tidak akan cukup jika negara membiarkan petani menanggung jeda pendapatan sendirian.

Di sinilah keadilan kebijakan diuji. Keluarga petani akan mencari jalan bertahan ketika panen tidak datang. Banyak keluarga dapat menjual ternak, alat pertanian, atau aset kecil yang menopang produktivitas. Mereka dapat mengurangi kualitas pangan, menunda pengobatan, dan menekan belanja pendidikan. Rangkaian keputusan ini akan menurunkan kualitas modal manusia dan mengunci kemiskinan baru di desa-desa terdampak. Negara perlu memutus rantai itu dengan bantuan hidup temporer yang terukur, berbasis data lahan terdampak dan verifikasi komunitas. Bantuan tunai yang tepat sasaran akan menjaga konsumsi dasar, menahan pelepasan aset, dan mencegah petani masuk ke pinjaman berbunga tinggi. Negara juga perlu menyediakan modal tanam dan akses input yang cepat agar petani bisa menanam segera saat lahan siap.

Pemulihan pertanian Sumatra juga menyangkut kepentingan yang lebih luas dari sekadar desa. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berperan sebagai produsen beras penting. Ketika bencana mengganggu produksi, rantai pasok ikut terguncang: penggilingan padi kekurangan bahan, pedagang gabah kehilangan volume, jasa angkutan kehilangan aktivitas, dan penyedia pupuk serta benih menghadapi permintaan yang tidak stabil. Gangguan pasokan dapat mendorong volatilitas harga pangan, menekan daya beli rumah tangga urban, dan memicu inflasi kelompok makanan. Pemerintah memang bisa menstabilkan jangka pendek melalui cadangan beras dan distribusi cepat, seperti dilaporkan Kompas (19 Desember 2025). Langkah itu tetap perlu, tetapi stabilitas jangka panjang hanya datang ketika produksi pulih dan petani kembali memperoleh insentif yang layak.

Dari sisi fiskal, negara akan menanggung biaya rekonstruksi dan bantuan sosial. Pemerintah perlu memastikan setiap rupiah belanja pemulihan menghasilkan ketahanan yang lebih tinggi, bukan sekadar pemulihan ke kondisi rapuh sebelum bencana. Pemerintah harus memperkuat standar irigasi, mengendalikan sedimentasi, dan menautkan rehabilitasi dengan tata kelola risiko hulu-hilir. Penegakan tata ruang, pengelolaan daerah aliran sungai, dan sistem peringatan dini harus berjalan sebagai bagian dari desain pemulihan, bukan lampiran program.

Pertanian Sumatra harus bangkit lebih baik dan lebih adil. Negara perlu menegaskan kepastian lahan, mempercepat rekonstruksi fisik, melindungi penghasilan petani selama masa tunggu, dan memperbaiki tata kelola risiko ekologis. Jika Indonesia menjalankan pemulihan secara menyeluruh, sawah yang pulih tidak hanya akan menumbuhkan padi. Sawah itu juga akan menumbuhkan keadilan ekonomi desa dan memperkuat ketahanan pangan nasional.**

Komentar0


 

Type above and press Enter to search.