Dr. Iramady Irdja
- Analis Ekonomi Politik
- Mantan Pegawai Bank Indonesia
Danantara ”Daya Anagata Nusantara”. "Daya" berarti energi, "Anagata" berarti masa depan, dan "Nusantara" merujuk pada Indonesia. Visi hebat Danantara bermakna energi dan potensi Indonesia di masa depan.
(Prabowo Subianto)
A. PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang Danantara menjadi viral di masyarakat. Ketika penulis "blusukan" ke pasar-pasar rakyat ada saja yang mengajak penulis bicara tentang Danantara. Ternyata popularitas Danantara sudah merambah ke "dapur-dapur" rakyat. Tidak elitis seperti sosok Danantara itu sendiri.
Penulis menangkap suara rakyat yang sporadis namun kuat menorehkan harapan yang besar pada Danantara.
Pada pertemuan dengan kelompok Gen-Z, pertanyaan tentang Danantara sangat gencar dengan komparasi data global. Penulis terpojok, kurang mampu meyakinkan Gen-Z yang biasanya rasional, detil, kritis, dan diselang-seling dengan bahasa Inggris yang fasih.
Seorang Gen-Z berdiri membelakangi tembok dengan gaya cuek dan "slengekan" : "Danantara bukan untuk akar rumput. Mereka terlalu elite dan tidak pernah sekalipun menyuarakan kepentingan rakyat. Otak Danantara hanya untuk Korporasi BUMN. Dan yang paling aneh ketika tiba-tiba kasus Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) "Whoosh" jadi urusan Danantara. Padahal keberadaan proyek Whoosh kental unsur politik dan jelas tidak feasible dari aspek ekonomi. Dengan demikian penyelesaian _Whoosh_ harus dengan pendekatan politik pula...", Ujar Gen-Z cerdas ini. Penulis dengan sisa semangat tua berupaya bijak dan "ngemong".
Penulis terpaksa memilih langkah yang paling bijak. Berusaha tersenyum "sumbang" diam tanpa kata-kata. Menurut teori komunikasi politik, kadang-kadang diam itu lebih efektif untuk meredam debat dari pada berteriak asal bunyi, "omon-omon".
Pengalaman ini yang mendorong Penulis membuat Jurnal Populer ini agar dapat membantu mencerahkan siapa saja, termasuk "Mak-Mak" yang sedang berharap Danantara membuat terobosan untuk menolong belanja dapur mereka...
B. LATAR BELAKANG SEJARAH
Pada akhir 1980-an, Soemitro mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga independen yang mengelola 1-5% laba dari seluruh BUMN. Soemitro melihat adanya potensi besar dari laba BUMN yang seharusnya bisa digunakan untuk investasi yang lebih strategis dan bermanfaat bagi masyarakat.
Usulan dimaksud sejalan dengan ciri-ciri khas Soemitronomics agar dana dikumpulkan dan dipusatkan dalam sebuah lembaga yang berfungsi seperti investment trust. Tujuannya untuk membina koperasi dan usaha kecil, menciptakan keseimbangan atas dominasi konglomerasi, dan mendorong investasi di luar negeri guna menciptakan keuntungan baru bagi kemakmuran rakyat.
JB. Sumarlin, Menteri Keuangan ketika itu, menolak secara halus gagasan dimaksud dengan alasan bahwa Indonesia belum membutuhkan lembaga semacam itu. Ia menganggap ide tersebut terlalu maju untuk kondisi saat itu.
Penulis memandang alasan penolakan dimaksud tidak sesederhana itu. Hal ini berakar pada perbedaan mazhab ekonomi, tetapi penjelasannya lebih kompleks daripada sekadar "ekonomi kerakyatan versus liberal- kapitalistik."
Soemitro menganut mazhab ekonomi politik strukturalis. Filosofinya, yang dikenal sebagai Soemitronomics, menekankan pentingnya intervensi negara untuk mencapai kemandirian dan pemerataan ekonomi. Baginya, pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan pemerataan, pembangunan struktur ekonomi yang kuat, di mana negara berperan sebagai agen pembangunan.
Sementara itu, J.B. Sumarlin dikenal sebagai ekonom monetaris dan fiskalis yang sangat pragmatis. Ia adalah seorang teknokrat yang fokus pada stabilisasi makroekonomi. Kebijakan-kebijakan andalannya, seperti "Gebrakan Sumarlin", bertujuan untuk mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai tukar, dan menjaga kesehatan anggaran negara.
Penulis ingin menggugah memori pembaca. Tentu bagi yang mengalami Gebrakan Sumarlin. Tengoklah gebrakan Paket Oktober 1988 yang terkenal dengan "Pakto 88" sebuah paket ekonomi yang sangat liberal. Pantas saja Andrinof A. Chaniago dalam buku "Gagalnya Pembangunan, Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru" menganggap paska Pakto 88, Indonesia lebih memilih jalan yang sangat pragmatis dan sangat oportunistik sepanjang sejarah bongkar pasang kebijakan ekonomi Orde Baru. Bahkan Emil Salim membuat periodisasi perekonomian Indonesia pada era Sumarlin yakni Periode Liberal dari 1983 - 1993.
Makanya dalam konteks ide pendirian Danantara menurut Penulis kedua tokoh dimaksud seperti "minyak dan air" sulit untuk disatukan karena beda mazhab. Soemitro berpikir dalam kerangka besar, menciptakan sistem untuk jangka panjang, sementara Sumarlin fokus pada pengelolaan yang cermat dan efektif untuk jangka pendek.
Dari Perspektif Ekonomi Politik, Penulis berpendapat keberadaan BUMN di Indonesia merupakan "kecelakaan sejarah". BUMN berawal dari nasionalisasi warisan company milik kolonial Belanda. Meskipun kemudian untuk sebagian BUMN dapat diterima sebagai perusahaan yang menjalankan amanat negara untuk menjaga kebutuhan rakyat sebagai "public goods and services". Sedangkan sebagian BUMN lainnya bisa dikategorikan termasuk konotasi kecelakaan sejarah di atas.
C. DANANTARA DALAM "RUH" SOEMITRONOMICS
Penulis tidak menemukan "cantolan" yang memadai terkait prinsip Soemitronomics dalam PP No. IO/2025 Tentang Danantara. Sementara itu, pada Pasal 2 d UU No. 1/2025 Tentang Perubahan Ketiga UU No. 19/2003 Tentang BUMN, ditemukan sandaran hukum minimalis untuk Soemitronomics :
"Melakukan pemberdayaan, mendukung, dan membangun kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, serta masyarakat."
Danantara adalah sebuah strategi pembangunan dalam kerangka Soemitronomics yang menekankan perlunya intervensi negara. Tujuannya untuk mengarahkan perubahan struktural ekonomi dan sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang modern dan mandiri.
(a). Danantara Untuk Rakyat
Dari regulasi di atas Danantara hanya berupa "template" dari BUMN yang selama ini berjalan. Belum tercantum regulasi yang spesifik sejalan dengan Soemitronomics. Penulis berharap Presiden Prabowo dan para Pemangku kebijakan segera menyadarinya.
Menangkap aspirasi rakyat tentang Danantara. Penulis memandang terciptanya keseimbangan antara UMKM dan Korporasi BUMN terletak pada sinergi yang diciptakan oleh Danantara. Tugas Danantara adalah memastikan korporasi tumbuh dengan efisien, dan pada saat yang sama pertumbuhan itu memberikan dampak positif yang nyata bagi UMKM.
Para pengurus Danantara jangan terlalu asik mengelola Korporasi BUMN, tanpa refleksi terobosan untuk UMKM dan ekonomi rakyat. Apabila Danantara keluar dari pakem keberpihakan ekonomi politik ini, maka siap-siaplah guyuran hujatan rakyat karena berarti Danantara mengingkari mazhab Soemitronomics.
Tujuan Soemitronomics agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh segelintir korporasi, tetapi juga dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, menciptakan ekonomi yang lebih kuat, mandiri, dan merata, sesuai dengan semangat "Trilogi Pembangunan" yang diusung Soemitro.
Salah satu tantangan terbesar UMKM adalah keterbatasan akses ke pasar yang stabil. Strategi Danantara harus menciptakan ekosistem yang memastikan produk UMKM memiliki pasar yang pasti :
Pertama, Danantara dapat mewajibkan BUMN untuk menjadikan UMKM sebagai mitra pemasok amenities (perlengkapan), bahan baku, marketing, dan berbagi "Government Market" dengan UMKM.
Kedua, Danantara dapat memfasilitasi pameran produk UMKM, promosi dan membuka akses market baik di dalam maupun luar negeri.
Ketiga, Membangun platform digital yang menghubungkan UMKM secara langsung dengan pembeli dan rantai pasok. Platform ini dapat membantu UMKM dalam pemasaran, logistik, dan pengelolaan pesanan.
Strategi ini berupaya mengintegrasikan UMKM ke dalam proyek-proyek strategis negara, sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga bagian integral dari pertumbuhan ekonomi nasional, sesuai dengan visi Soemitronomics yang mengedepankan efisiensi dan keadilan sosial.
(b). Rangkap Jabatan BUMN
Rangkap jabatan BUMN sudah marak sehingga dalam opini rakyat sudah kurang wajar dan "mumpungisme". Seolah-olah bagi-bagi jabatan dianggap normal saja dengan mengabaikan proses meritokrasi. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip Soemitronomics.
Dari perspektif ekonomi politik praktik ini sudah tidak sehat dan menimbulkan "sinisme", kontraproduktif dan merosotnya kewibawaan dan legitimasi kebijakan pemerintah.
Menurut Wikipedia, diketahui BUMN menempatkan sejumlah wakil menteri sebagai komisaris BUMN (per 16 Juli 2025):
(a). Pertamina dan entitas anaknya, merekrut 6 wakil menteri untuk menduduki komisaris
(b). PLN dan entitas anaknya, merekrut 4 wakil menteri untuk menduduki komisaris
(c). PIHC dan entitas anaknya, merekrut 2 wakil menteri untuk menduduki komisaris
(d). Garuda Indonesia dan entitas anaknya, merekrut 2 wakil menteri untuk menduduki komisaris
(e). Tiga wakil menteri menduduki komisaris di Bank Mandiri, Bank BTN, dan Bank BRI
(f). Sembilan wakil menteri menduduki komisaris di beberapa BUMN: Perikanan Indonesia, Pelindo, Dahana, SIG, Sarinah, JasaMarga, Indosat, dan InJourney Aviation Services.
Menurut ICW, meskipun sudah tidak mendapatkan tantiem praktik rangkap jabatan ini masih merupakan penyimpangan terhadap pasal 27B UU BUMN dan pasal 23 UU Kementerian Negara, juga putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri, serta pasal 73 ayat (2) Peraturan Menteri BUMN No. PER-3/MBU/03/2023.
Penulis mengamati dengan cermat bahwa kunci sukses berbagai Sovereign Wealth Fund (SWF) di mancanegara karena konsisten pada proses Meritokrasi. Personil yang dipakai betul-betul yang berkualitas, profesional, dengan membuang jauh-jauh pertimbangan politis.
Hal ini menjadi praktik idealis bagi Government Pension Fund Global (GPFG), Norwegia, Temasek Holdings dan GIC, Singapura, China Investment Corporation (CIC), Tiongkok, Mubadala Investment Company (MIC), UEA, Public Investment Fund (PIF), Arab Saudi.
Meskipun SWF di UEA dan Arab Saudi dalam pemerintahan "kerajaan" yang didominasi keluarga Sultan, namun tetap saja mengedepankan meritokrasi yang profesional.
Hal ini sejalan dengan prinsip Soemitronomics yang mendukung meritokrasi guna mitigasi timbulnya berbagai risiko di kemudian hari.
(c). Danantara Elitis (?)
Kesan "elitis" Danantara jangan dianggap enteng karena tanpa disadari dapat menjadi realitas yang tidak terbantah. Salah satu penyebabnya karena regulasi acuan yang tersedia sangat minimalis.
Penulis memandang Danantara harus "muhasabah" sebagai anak kandung Soemitronomics. Petinggi Danantara diharapkan mengubah strategi komunikasi ekonomi politik.
Landasan pemikiran Soemitronomics mengutamakan keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, bukan hanya kelompok tertentu. Dalam konteks ini, keberadaan Danantara yang elitis dapat memiliki kelemahan-kelemahan :
Pertama, model elitis cenderung mengabaikan masukan dari masyarakat di tingkat akar rumput (bottom-up). Soemitronomics menekankan pentingnya pembangunan yang dimulai dari basis masyarakat. Jika Danantara tidak memiliki mekanisme untuk melibatkan partisipasi rakyat, maka keberlanjutan dan dampaknya terhadap kesejahteraan akan dipertanyakan.
Kedua, terjadi pengabaian pada "Pemerataan" dan fokus pada "Pertumbuhan". Hal ini tampak dari pengelolaan Danantara terpusat pada efisiensi dan profitabilitas. Dengan demikian Danantara secara eksplisit tidak menjamin pemerataan manfaat ke seluruh lapisan masyarakat.
Ketiga, Jika dividen dan keuntungan investasi hanya kembali ke kas negara tanpa diimbangi dengan alokasi yang jelas untuk program-program pro-rakyat, maka tujuan pemerataan yang diusung _Soemitronomics_ tidak akan tercapai.
Keempat, keputusan investasi dan kebijakan diambil oleh sekelompok kecil individu elitis. Hal ini menimbulkan risiko bahwa keputusan tersebut hanya akan menguntungkan lingkaran dalam atau oligarki, yang dapat memperlebar jurang ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin.
Kelima, Pengelolaan aset negara dalam jumlah besar oleh badan yang terpusat dan elitis dapat membuka celah untuk praktik korupsi dan suap. Soemitronomics sangat menentang model ekonomi yang membiarkan "elite rakus" menguasai sumber daya negara.
Berkenaan hal di atas, implementasi Danantara harus diimbangi dengan tata kelola yang transparan, akuntabilitas yang ketat, dan mekanisme yang memastikan manfaatnya dinikmati secara adil oleh seluruh rakyat Indonesia.
D. DANANTARA DAN SEKTOR PERTAMBANGAN
Penulis teringat publikasi "wah" ketika Danantara baru berdiri. Seolah-olah sudah ada di kantong kiri sebesar Rp 14.700 triliun. Tinggal kantong kanan mengumpulkan dividen tahunan dari BUMN yang untung. Realitas "dana fresh" dimaksud hanya berupa angka kumulatif dari total aset BUMN, bukan dana fresh yang siap untuk investasi.
Blunder komunikasi ekonomi politik ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Bahkan banyak terdengar suara rakyat kritis menganggap sebagai "Pembohongan publik".
Berkenaan itu, dari perspektif Soemitronomics, penulis mencoba menjajaki bahwa Danantara memiliki peluang besar untuk menghimpun dana dari sektor ekstraktif pertambangan, terutama nikel dan batubara.
Gagasan ini sangat relevan dengan Soemitronomics tentang perlunya intervensi negara untuk mengelola kekayaan alam yang tidak terbarukan demi kepentingan jangka panjang dan pemerataan ekonomi :
Pertama, Pendapatan negara dari nikel dan batubara sangat besar. Danantara dapat mengumpulkan sebagian dari pendapatan ini, bukan untuk dibelanjakan habis, melainkan untuk diinvestasikan dan dikelola sebagai "dana abadi."
Kedua, Danantara dapat menggunakan dana dari sektor ini untuk mendanai transisi ke energi terbarukan, menciptakan sumber ekonomi baru.
Ketiga, Danantara dapat mencontoh sukses SWF Norwegia menghimpun dana abadi dari sektor minyak dan gas. Dana ini digunakan untuk investasi di berbagai negara dengan target memastikan generasi mendatang tetap makmur setelah sumber daya alamnya terkuras habis.
Perusahaan-perusahaan tambang mungkin akan menolak kewajiban untuk menyetorkan sebagian keuntungan mereka ke Danantara. Makanya kebijakan ini harus dirancang dengan cermat agar tidak mematikan iklim investasi.
Danantara dapat bernaung di bawah Pasal 33 dan 34 UUD 45 sehingga bermanfaat bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, sejalan dengan visi Soemitronomics.
E. PENDAPAT
Dari analisis di atas, Penulis mencoba merangkum pendapat ringkas guna membantu khalayak memahami inti dari "Jurnal Populer" ini:
(1). Perkuat regulasi Danantara sebagai "payung" hukum dalam rangka menerapkan prinsip Soemitronomics. Kepastian hukum berguna untuk proses menyisihkan sebagian laba BUMN untuk membiayai proyek-proyek strategis, seperti pembinaan koperasi dan usaha kecil rakyat. Makanya penguatan dan kelengkapan regulasi menjadi sangat krusial.
(2). Danantara harus mencegah rangkap jabatan di BUMN melalui meritokrasi yang efektif. Dari perspektif Soemitronomics meritokrasi yang baik merupakan langkah krusial untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas. Selain itu, rangkap jabatan juga berpotensi membatasi peluang bagi talenta-talenta baru yang kompeten untuk menduduki posisi strategis, sehingga menghambat regenerasi kepemimpinan dan inovasi.
(3). Danantara sebagai Badan Pengelola Investasi Indonesia (SWF) memiliki potensi besar sumber dana dari sektor pertambangan antara lain nikel dan batubara, terutama melalui fokus pada program hilirisasi. Dalam konteks ini Danantara tidak perlu khawatir karena memiliki acuan dasar hukum yang kuat yakni UUD 1945.
(4). Danantara sebaiknya menghindari kesan elitis dari stakeholders karena tidak sejalan dengan prinsip Soemitronomics yang membumi (down to earth). Sikap elitis cenderung mengabaikan masukan dari masyarakat di tingkat akar rumput (bottom-up). Perlu dipahami bahwa Soemitronomics menekankan pentingnya pembangunan yang dimulai dari basis rakyat dengan tujuan untuk mencapai masyarakat yang makmur sejahtera dan berkeadilan.
Merdeka...🇮🇩🇮🇩
Jakarta, 25 September 2025
Komentar0