TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

Proyek Rp4,7 Miliar di TPA Regional Payakumbuh Diduga Mangkrak, Limbah Lindi Ancam Lingkungan Warga



ESSAPERS.COM/ PAYAKUMBUH – Proyek Penanganan Mata Air dan Air Lindi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Payakumbuh yang dikerjakan Dinas Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) Sumatera Barat tahun 2024, dengan nilai HPS Rp4,7 miliar, kini menuai sorotan tajam.

Fasilitas yang digadang-gadang sebagai solusi modern pengelolaan sampah ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sistem pengolahan air lindi gagal berjalan sesuai aturan. Pipa instalasi yang terpasang tidak memadai, sementara pemasangan geomembrane dinilai tidak optimal sehingga berisiko mengalami kebocoran.

Akibat kegagalan tersebut, air buangan dari TPA diduga kuat tidak memenuhi baku mutu lingkungan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius atas potensi pencemaran sumber air masyarakat serta ancaman kerusakan ekosistem di sekitar kawasan TPA.

Padahal, regulasi sudah mengatur jelas. UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mewajibkan pengelolaan TPA dengan memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan. Lebih jauh, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan, kelalaian yang menimbulkan pencemaran dapat berujung sanksi pidana, termasuk hukuman penjara dan denda miliaran rupiah.

Dengan nilai proyek mencapai Rp4,7 miliar, dugaan tidak berfungsinya fasilitas ini bukan hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian negara jika terbukti pekerjaan dilakukan tidak sesuai spesifikasi teknis dan tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.


Sejumlah pihak pun angkat bicara. Direktur LSM Forum Hijau Sumbar, Rizal Arifin, menilai proyek tersebut terindikasi hanya formalitas tanpa perencanaan matang.

“Kalau fasilitas lindi tidak berjalan, itu sama saja mengancam kesehatan ribuan warga. Proyek miliaran rupiah ini jangan-jangan hanya proyek mercusuar yang menguntungkan segelintir pihak. Aparat penegak hukum mesti segera turun tangan,” tegasnya.

Sementara itu, akademisi lingkungan dari Universitas Andalas, Dr. Ir. Sulastri, M.Eng., mengingatkan bahwa pencemaran lindi jauh lebih berbahaya dibanding sampah padat.

“Lindi yang bocor bisa masuk ke sumur warga, mencemari tanah, bahkan menimbulkan penyakit berbahaya. Kalau benar sistem tidak berfungsi, itu artinya kegagalan serius dalam tata kelola TPA. Negara dirugikan, masyarakat jadi korban,” ujarnya.


Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Harry, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek ini, memberikan klarifikasi.

Menurut Harry, pekerjaan senilai Rp4,7 miliar ini merupakan keperluan darurat dan mendesak yang didanai melalui Belanja Tidak Terduga (BTT) Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

“Lingkupnya adalah penanganan sementara terhadap kejadian longsor yang terjadi di TPA Regional Payakumbuh. Tujuan dari proyek ini berjalan sebagaimana mestinya, yaitu untuk penanganan air lindi secara sementara dan belum merupakan bangunan Instalasi Pengolah Lindi (IPL) permanen mengingat keterbatasan dana,” jelasnya melalui pesan WhatsApp.

Harry juga menambahkan bahwa penggunaan geomembrane dalam proyek ini hanya bersifat sementara, bukan solusi final.

“Untuk mencapai pengelolaan modern tentu butuh dana besar, sementara kondisi Sumbar mengalami defisit anggaran. Dengan dana yang ada, kami sudah maksimal memberikan penanganan untuk mencegah pencemaran ke badan air terdekat,” kata Harry.


Meski PPK berdalih proyek ini bersifat sementara, sorotan publik tak bisa diredam. Pertanyaannya, mengapa dana Rp4,7 miliar hanya digunakan untuk sebuah “penanganan sementara” yang faktanya tidak berjalan maksimal?

Sejumlah pengamat menilai alasan “darurat” dan “keterbatasan anggaran” justru memperkuat dugaan adanya indikasi pemborosan dan lemahnya perencanaan. Pasalnya, dana BTT semestinya digunakan untuk kegiatan yang langsung berdampak nyata dan efektif dalam mengatasi bencana atau keadaan darurat.

Sesuai dengan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, penggunaan BTT hanya diperbolehkan untuk:

1. Keadaan darurat/bencana alam,

2. Keadaan darurat sosial,

3. Keadaan tak terduga lain yang sangat mendesak dan tidak bisa direncanakan sebelumnya.

Jika instalasi yang dibangun ternyata gagal berfungsi dan justru berpotensi mencemari lingkungan, publik berhak bertanya: Apakah proyek ini benar-benar penanganan darurat atau sekadar proyek bancakan dengan memanfaatkan dalih “darurat”?


Kini, bola panas berada di tangan aparat penegak hukum, auditor negara, dan lembaga pengawas. Proyek bernilai miliaran rupiah yang berujung pada fasilitas “setengah jadi” jelas patut ditelusuri, apalagi jika terbukti lebih banyak menguntungkan kontraktor daripada masyarakat.

 Publik menanti langkah tegas BPK, Kejaksaan, dan KPK untuk memastikan apakah proyek ini layak disebut penanganan darurat atau justru praktik pemborosan uang negara yang berkedok proyek sementara. (yd)


Editor: Eric Swid

Komentar0


 

Type above and press Enter to search.