ESSAPERS.COM/ PADANG – Dugaan korupsi proyek pembangunan Gedung DPRD Kota Padang bernilai fantastis Rp129,2 miliar kembali jadi sorotan tajam. Proyek yang dikerjakan oleh PT Nindya Karya (Persero) bersama PT Artefak Arkindo (Persero) ini menyisakan kerugian negara Rp2,2 miliar sebagaimana hasil audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
BPK memberi tenggat 60 hari untuk pengembalian kerugian negara, namun yang terjadi justru mencoreng wajah hukum: pengembalian dilakukan dengan cara mencicil dan baru tuntas pada Juli 2025, jauh melewati batas waktu.
Publik sempat berharap saat Ditreskrimsus Polda Sumbar melayangkan surat pemanggilan resmi kepada Kepala Dinas PUPR Padang pada Maret 2024. Namun, pasca pemanggilan itu, kasus mendadak senyap tanpa ada kabar tindak lanjut.
Padahal, Pasal 4 UU Tipikor tegas menyatakan: pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi. Artinya, meski uang negara telah dikembalikan, unsur pidana tetap melekat dan wajib diproses hukum.
Diamnya aparat penegak hukum memunculkan dugaan publik: apakah ada “tangan tak terlihat” yang mencoba mengunci rapat perkara ini? Beberapa sumber bahkan menyebut ada indikasi praktik “main mata” antara kontraktor dan oknum tertentu.
“Kalau kasus ini berhenti hanya karena ada pengembalian uang, itu berarti hukum bisa diperdagangkan. Publik berhak curiga karena prosesnya sangat janggal,” ujar Boby, Ketua Pekat IB Kota Padang.
Upaya konfirmasi kepada Wali Kota Padang, Fadly Amran, maupun Kadis PUPR Tri Hadiyanto tidak berbuah hasil. Keduanya lebih memilih diam, meski masyarakat terus menuntut penjelasan. Sikap bungkam inilah yang semakin menebalkan dugaan adanya sesuatu yang sengaja ditutupi.
1. Mengapa Ditreskrimsus Polda Sumbar tidak memberi kejelasan perkembangan kasus?
2. Mengapa Pemkot Padang tidak menindak tegas keterlambatan pengembalian dana oleh kontraktor?
3. Apakah benar hukum hanya berlaku keras untuk rakyat kecil, sementara kasus miliaran rupiah bisa hilang hanya dengan “cicilan”?
Selama pertanyaan ini tak terjawab, kasus Gedung DPRD Padang akan menjadi simbol lemahnya penegakan hukum di Sumatera Barat.
Kasus Rp2,2 miliar ini jelas bukan sekadar soal uang yang akhirnya kembali ke kas negara. Lebih dari itu, ini adalah persoalan kredibilitas aparat penegak hukum, integritas pejabat publik, dan harga diri negara.
Jika benar kasus ini “dipetieskan”, maka pesan yang tersampaikan ke masyarakat sangat jelas: hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Inilah preseden paling berbahaya bagi demokrasi dan keadilan.
Kini bola panas ada di tangan aparat penegak hukum. Publik menunggu, apakah hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, atau kembali menjadi tontonan yang bisa dibeli oleh kepentingan segelintir orang.(yd)
Komentar0