TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

Hukum Dicicil, Keadilan Diperdagangkan: Preseden Hitam Penegakan Hukum di Sumbar



ESSAPERS.COM / PADANG – Skandal dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Kota Padang senilai Rp129,2 miliar dengan kerugian negara Rp2,2 miliar kini memasuki babak yang semakin absurd. Meski uang negara akhirnya dikembalikan, caranya dilakukan dengan cicilan panjang hingga baru lunas pada Juli 2025.

Pertanyaannya, sejak kapan keadilan bisa dibayar dengan kwitansi cicilan? Sejak kapan tindak pidana bisa ditebus hanya dengan pengembalian kerugian negara?

Jika perkara ini benar-benar dipetieskan hanya karena uang sudah kembali, maka preseden berbahaya sedang lahir di Sumatera Barat. Preseden yang memberi pesan jelas dan menyesatkan:

* Korupsi bisa ditebus dengan cicilan.

* Hukum hanya berlaku keras untuk rakyat kecil.

* Kasus miliaran rupiah bisa “dilunakkan” asal ada setoran balik.

Preseden inilah yang mencoreng wajah keadilan, sekaligus meruntuhkan wibawa hukum di mata masyarakat.

Seorang pakar hukum dari Universitas Andalas, Dr. Suryadi, menegaskan keras:

“UU Tipikor jelas. Pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana. Kalau aparat penegak hukum diam, itu sama saja mengkhianati keadilan. Hukum tidak boleh diperdagangkan, apalagi dicicil.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa sikap diam aparat justru memperlihatkan lemahnya komitmen dalam memberantas korupsi. Bukan hanya publik yang kecewa, tetapi juga kalangan akademisi yang terus mengawasi perkembangan kasus ini.

Hingga kini, tidak ada konferensi pers, tidak ada update resmi, dan tidak ada penjelasan transparan dari Ditreskrimsus Polda Sumbar terkait kelanjutan kasus ini.

Diamnya aparat bukan sekadar diam. Diam itu adalah sinyal buruk. Sinyal bahwa ada sesuatu yang ditahan, ditutup, atau sengaja tidak diteruskan.

Sementara itu, masyarakat semakin curiga ada praktik “main mata” antara kontraktor, pejabat terkait, dan oknum aparat. Jika benar, maka publik bukan hanya kehilangan uang, tapi juga kepercayaan terhadap aparat penegak hukum.

Kasus ini bukan hanya menguji hukum, tapi juga menciptakan beban psikologis:

* Beban bagi aparat yang harus terus menanggung sorotan publik.

* Beban bagi pejabat yang harus menghadapi kecurigaan rakyat.

* Beban bagi kontraktor yang namanya kini tercatat dalam sejarah kelam pembangunan di Sumatera         Barat.

Selama kasus ini dibiarkan senyap, beban itu tidak akan pernah hilang, melainkan semakin berat. 

Kini, sorotan publik tidak hanya tertuju pada Ditreskrimsus Polda Sumbar, tetapi juga pada Kapolda Sumbar Irjen Pol Gatot Tri Suryanta hingga ke Mabes Polri.

Apakah institusi kepolisian akan membiarkan kasus ini menjadi bahan tertawaan publik, atau berani membuktikan bahwa hukum masih punya wibawa?

Kasus ini tidak akan hilang begitu saja. Publik akan terus menagih jawaban. Media akan terus menyoroti. Akademisi dan praktisi hukum akan terus bersuara.

Sebab, korupsi bukan hanya soal uang, tapi soal penghinaan terhadap keadilan. Dan keadilan tidak boleh diperdagangkan, apalagi dicicil (yd)


Editor: Erick Swid



Komentar0


 

Type above and press Enter to search.