Oleh : Akmal, S.Sos
Alumni Fisipol Unes
Rencana Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) yang tengah dibahas harus dikawal secara serius agar sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto.
Presiden menegaskan bahwa BUMN tidak boleh terus merugi, karena setiap kerugian perusahaan pelat merah pada akhirnya menjadi beban negara dan rakyat. Salah satu perhatian utama adalah tata kelola penghasilan jajaran direksi dan komisaris.
Prabowo menolak praktik pejabat BUMN meraup puluhan miliar rupiah per tahun melalui skema tantiem atau insentif kinerja yang dimaksud, seperti yang disampaikan pada saat Sidang Paripurna DPR diwaktu lalu.
Praktik ini dinilai tidak adil, apalagi banyak karyawan level bawah yang harus berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup.
Sistem remunerasi harus lebih bijak, adil, dan transparan untuk mencegah pemborosan keuangan negara.
Prabowo juga menentang keras praktik outsourcing yang membuat pekerja hanya menjadi buruh kontrak tanpa kepastian masa depan.
Jika saat ini masih ada tenaga kerja outsourcing, pemerintah diharapkan mengangkat mereka menjadi karyawan tetap agar memiliki jenjang karier, kepastian kesejahteraan, dan rasa memiliki terhadap BUMN.
Penghasilan yang mencakup gaji, honor, tunjangan, dan insentif harus diperhitungkan secara efisien.
Prinsip utama adalah menjaga keberlanjutan BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional, bukan tempat pemborosan yang merugikan rakyat.
Setiap rupiah yang keluar dari kas BUMN harus dikembalikan untuk kesejahteraan bangsa, bukan segelintir elit.
Dalam pembahasan RUU, yang paling penting adalah memastikan tidak ada "pasal titipan" , sebuah istilah kata yang akan menjadi hantu dalam undang-undang itu nantinya.
Pasal semacam ini biasanya hanya menguntungkan segelintir pihak, baik individu maupun kelompok, namun merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.
Rakyat tidak boleh menjadi korban praktik yang tidak adil dan menyimpang dari semangat kebangsaan.
Oleh karena itu, pengawalan RUU BUMN harus ketat, transparan, dan mengedepankan kepentingan rakyat.
BUMN harus dikelola dengan prinsip efisiensi, profesionalitas, dan keberpihakan pada kesejahteraan publik, bukan demi keuntungan segelintir elit.
1. Akhiri Budaya Rugi dan Bagi-Bagi Tantiem
Publik sudah terlalu lama kecewa dengan laporan keuangan BUMN yang merugi, sementara direksi dan komisaris tetap menerima insentif fantastis, kadang mencapai puluhan miliar per tahun.
Prabowo menegaskan penghasilan pimpinan BUMN harus wajar, transparan, dan sebanding dengan kinerja nyata.
2. Hentikan Praktik Outsourcing yang Memiskinkan Pekerja
BUMN harus menjadi teladan dalam memberikan kepastian kerja, bukan mempertahankan outsourcing yang merampas harapan jutaan tenaga kerja muda.
Jika tenaga kerja outsourcing dibutuhkan, mereka harus diupayakan menjadi karyawan tetap agar memiliki masa depan dan kesempatan membangun karier di BUMN.
3. Tata Ulang Sistem Remunerasi dan Tunjangan
Seluruh komponen penghasilan, mulai gaji pokok, honor, tunjangan, hingga insentif kinerja, harus ditinjau ulang. Sistem boros akan membebani keuangan perusahaan dan negara.
Penghasilan harus berbasis kinerja nyata, efisiensi, dan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan BUMN serta kesejahteraan publik.
4. Waspadai Pasal Titipan
Pengawasan ketat diperlukan agar RUU BUMN tidak memuat pasal yang menguntungkan segelintir orang atau kelompok, merugikan kepentingan negara. Jika dibiarkan, rakyatlah yang menanggung dampaknya.
BUMN untuk Rakyat, Bukan Segelintir Elit
RUU BUMN harus menjadi tonggak baru untuk mengakhiri praktik pemborosan, penyalahgunaan wewenang, dan mentalitas rente. Pengawalan publik mutlak diperlukan.
Masyarakat, akademisi, pekerja, dan aktivis sipil harus ikut memantau pembahasan RUU ini.
Dengan pengawasan yang tepat, cita-cita Presiden Prabowo agar BUMN menjadi pilar kemandirian ekonomi bangsa dapat terwujud nyata. Sesuai Visi dan Misi Prabowo-Gibran untuk menuju Indonesia emas. Dimana akan melahirkan Indonesia maju, rakyat makmur dan sejahtera. 🇮🇩😊🙏💗
Komentar0