ESSAPERS.COM / PADANG – Pada Maret 2024, publik sempat
menaruh harapan besar. Ditreskrimsus Polda Sumbarmengirimkan surat pemanggilan
resmi kepada Kepala Dinas PUPR Kota Padang terkait dugaan korupsi pembangunan
Gedung DPRD Padang senilai Rp129,2 miliar. Surat itu diyakini sebagai titik
terang penegakan hukum, langkah awal menuju keadilan setelah BPK RI menemukan
kerugian negara Rp2,2 miliar.
Namun, alih-alih menjadi momentum, surat itu justru berubah menjadi simbol kekecewaan publik. Setelah pemanggilan tersebut, kasus mendadak senyap. Tidak ada konferensi pers, tidak ada update resmi, tidak ada transparansi tentang proses hukum. Seolah-olah kasus yang menyangkut uang rakyat miliaran rupiah itu ditelan bumi tanpa jejak.
Padahal, aturan hukum sudah sangat jelas.
Pasal
4 UU Tipikor menyatakan:
“Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus
tindak pidana korupsi yang dilakukan.”
Artinya, meski Rp2,2 miliar yang “bocor” dalam proyek ini
akhirnya dikembalikan—bahkan dengan cara mencicil dan melewati tenggat
waktu—unsur pidana korupsi tetap melekat. Tidak ada celah bagi siapapun untuk
bersembunyi di balik alasan “kerugian sudah dikembalikan”.
Namun, sikap aparat penegak hukum justru menunjukkan sebaliknya. Alih-alih menegakkan pasal secara tegas, kasus ini justru menguap tanpa arah.
Kondisi ini membuat publik tak bisa tinggal diam. Muncul
spekulasi-spekulasi keras di ruang publik:
* Apakah surat pemanggilan itu hanya sekadar formalitas
belaka?
* Apakah hukum dijalankan setengah hati, hanya sebatas
pencitraan tanpa keseriusan?
* Atau, ada tekanan politik dan kepentingan besar yang
membuat aparat memilih diam?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menguatkan kesan bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Mahdiyal, Praktisi Hukum, menegaskan bahwa kasus ini tidak
boleh berhenti hanya karena ada pengembalian kerugian negara.
“Kalau benar kasus ini dipetieskan hanya karena ada cicilan pengembalian, itu sama saja menegaskan bahwa hukum bisa diperdagangkan. Pasal 4 UU Tipikor jelas-jelas mengatakan pengembalian tidak menghapus pidana. Jadi kalau aparat diam, itu adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum,” ujarnya dengan nada tegas.
Hingga kini, Tri Hadiyanto, Kepala Dinas PUPR Padang,
memilih bungkam. Tidak ada penjelasan resmi, tidak ada klarifikasi kepada
publik. Sikap diam ini bukan sekadar pasif, tetapi juga menimbulkan kecurigaan
kuat: apakah ada sesuatu yang memang sengaja ditutup-tutupi?
Diamnya pejabat, ditambah senyapnya aparat, membentuk kombinasi berbahaya: hilangnya transparansi, matinya akuntabilitas.
Jika kasus sebesar ini saja bisa menguap tanpa penyelesaian,
bagaimana dengan proyek-proyek kecil di tingkat nagari atau kelurahan? Bukankah
justru lebih rawan terjadi penyimpangan karena minim pengawasan?
Kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk: bahwa dalam proyek-proyek besar, kerugian negara bisa “ditutup” dengan mekanisme cicilan, lalu pidana hilang begitu saja. Padahal, itulah bentuk nyata dari pembunuhan kepercayaan publik terhadap hukum.
Surat pemanggilan Ditreskrimsus yang awalnya membawa harapan
besar, kini berubah menjadi sumber kekecewaan mendalam. Publik merasa
dikhianati oleh aparat yang seharusnya menjadi benteng keadilan.
Kasus Rp2,2 miliar ini memang sudah dikembalikan. Tetapi
yang hilang jauh lebih besar: kepercayaan publik pada penegakan hukum.
Kini, masyarakat hanya menunggu satu hal: apakah aparat
berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, atau memilih diam dan membiarkan
kasus ini terkubur?(yd)
Editor; Erick Swid

%20-%20Dibuat%20dengan%20PosterMyWall%20(2)%20(1).jpg)
Komentar0