Di tengah riuh wacana energi hijau dan transisi menuju masa depan berkelanjutan, ada satu kisah yang mengalir tenang namun bergetar kuat — kisah tentang Julfi Hadi, seorang putra Minang yang lahir di Swedia, tumbuh berpindah-pindah di berbagai negara, dan kini menjadi sosok di balik kebangkitan panas bumi Indonesia.
“Saya seratus persen Minang,” katanya dengan senyum tenang.
Meski besar di luar negeri, darah Minang tetap mengalir kental di nadinya. Orang tuanya asli Sumatera Barat, dan bahkan istrinya pun masih keturunan Minang. Namanya pun tak berubah: Julfi Hadi sederhana, tapi kini menjadi nama besar di dunia energi nasional.
Sebagai Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy (PGE), Julfi memikul tanggung jawab besar: menyalakan kembali potensi geothermal Indonesia yang selama puluhan tahun seperti api dalam sekam — besar, tapi tak menyala sempurna.
Indonesia sejatinya menyimpan potensi panas bumi terbesar di dunia, mencapai 25.000 MW. Namun, hingga kini, baru sekitar 2.400 MW yang benar-benar menjadi listrik.
Padahal, energi ini ramah lingkungan, stabil, dan murah, bahkan lebih hemat dibandingkan energi surya. Sayangnya, jalan menuju pembangkit geothermal sering kali tertutup batu besar bernama biaya investasi.
“Investasi satu megawatt bisa mencapai enam juta dolar AS,” ungkap Julfi. “Tapi kalau sudah jalan, panas bumi adalah energi paling hijau yang dimiliki Indonesia — tanpa bahan bakar, dan bertahan seumur hidup
Yang ditemukan Julfi bukan sekadar teori, tapi cara memulai.
Di Aceh, misalnya — tepatnya di Seulawah Agam, potensi panas bumi mencapai 320 MW. Namun, Julfi tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu. Proyek itu sudah dicanangkan sejak 40 tahun lalu, tapi tak pernah benar-benar berjalan.
Pendana asing datang dan pergi, jalan keluar selalu mentok. Hingga akhirnya, Julfi datang dengan ide sederhana tapi revolusioner: mulai dulu dari kecil.
“Dikerjakan bertahap, mulai 30 MW dulu. Yang penting dimulai,” ujarnya.
Dengan konsep staging project, proyek bisa berjalan tanpa menunggu dana besar. Pengeboran perdana di Seulawah dijadwalkan Desember ini, menjadi proyek panas bumi pertama yang benar-benar bergerak di Aceh.
Tak berhenti di situ. Tiga bulan setelahnya, proyek berikut menyusul di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Kapasitas totalnya 30 MW, tapi untuk tahap awal, cukup 15 MW saja.
Secara total, PGE tahun ini menargetkan modal sekitar Rp 4,5 triliun, dan tahun depan akan menambah tiga proyek baru di Sumatera Selatan dan Jawa Barat, dengan tambahan sekitar Rp 5 triliun.
Namun Julfi tidak khawatir. “Kami sudah bisa menurunkan biaya investasi jadi lima juta dolar per megawatt,” katanya optimis.
Di era Presiden Prabowo Subianto, isu swasembada energi kembali menjadi prioritas. Dukungan terhadap energi hijau seperti geothermal menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia siap berdiri di atas kaki sendiri.
Apakah ini berarti proyek-proyek panas bumi akan mendapat prioritas pendanaan nasional?
Julfi yakin, geothermal adalah proyek yang tak perlu diragukan siapa pun.
“Proyek ini mulia, hijau, dan dibutuhkan masyarakat. Bisnisnya jelas, manfaatnya besar,” tegasnya.
Kini, PGE telah mengantongi izin untuk mengelola potensi panas bumi hingga 3.000 MW. Dari jumlah itu, baru 770 MW yang beroperasi. Dalam dua tahun ke depan, target 1.000 MW diharapkan tercapai.
“Target akhir kami tetap 3.000 MW,” ucap Julfi.
Jika itu terwujud, Indonesia akan melampaui Amerika Serikat dan Filipina, menjadi negara nomor satu di dunia dalam pengelolaan panas bumi.
Namun jalan menuju sana tak selalu mulus. Salah satu hambatan terbesar bukan hanya soal dana, tapi juga “kerukunan keluarga” antar lembaga negara — antara PLN sebagai pembeli listrik dan Pertamina sebagai penjual.
PLN ingin harga murah, Pertamina ingin harga layak.
“Pembicaraan harga bisa bertahun-tahun, tanpa hasil,” ujar Julfi.
Namun, kini semua pihak berharap era baru membawa semangat baru. Dengan dorongan kuat dari atas, kesepakatan harga bisa diputuskan lebih cepat. Seperti kata Gus Dur, “Gitu aja kok repot.”
Dengan strategi bertahap, biaya yang efisien, dan kemauan politik yang kuat, harapan energi hijau Indonesia kini mulai menyala kembali.
Di bawah kepemimpinan Julfi Hadi, PGE bukan hanya mengejar target megawatt, tapi juga menyalakan kembali semangat bangsa untuk memanfaatkan kekayaan alamnya secara mandiri, bersih, dan berkelanjutan.
“Panas bumi ini bukan sekadar energi,” kata Julfi pelan. “Ini adalah warisan alam Indonesia — dan tanggung jawab kita untuk menjaganya.”
Komentar0