SOLOK — Aktivitas tambang galian C ilegal kembali menjadi sorotan publik di Kabupaten Solok. Kegiatan penambangan liar tersebut ditemukan di wilayah Nagari Muaro Pingai, Kecamatan Junjung Sirih, tepat di pinggiran Danau Singkarak, salah satu kawasan strategis dan sumber air utama di Sumatera Barat.
Yang lebih mengejutkan, sumber lapangan menyebut aktivitas tambang itu diduga dimiliki oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di Dinas Perhubungan. Truk-truk pengangkut material dari lokasi tambang pun dilaporkan bebas melintas di depan Polsek tanpa ada tindakan berarti.
Kondisi ini memantik reaksi keras dari Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia (LMR RI) Koordinator Wilayah Sumatera Barat. Ketua LMR RI Sumbar, Ir. Sutan Hendi Alamsyah, S.T., M.Ars, menegaskan bahwa aktivitas tersebut bukan hanya melanggar izin, tetapi juga merupakan bentuk kejahatan lingkungan yang terstruktur dan merusak ekosistem danau.
“Tambang galian C ilegal itu bukan sekadar pelanggaran izin. Itu sudah masuk ke ranah kejahatan lingkungan. Dan ironisnya, lokasinya di pinggir Danau Singkarak, simbol kebanggaan masyarakat Sumatera Barat,” ujar Sutan Hendi kepada redaksi essapers.com, Senin malam (14/10/2025).
Pantauan di lapangan memperlihatkan perubahan kontur tanah, air keruh, dan aktivitas alat berat di bibir danau. Warga setempat mengaku resah karena getaran dan suara alat berat kerap terdengar hingga malam hari.
“Air jadi keruh, ikan berkurang, dan anak-anak tak bisa lagi mandi di danau. Kami khawatir kalau dibiarkan, Singkarak bisa rusak total,” keluh salah seorang warga yang enggan disebut namanya.
Sorotan publik kini tertuju pada Kapolres Solok Kota, AKBP Mas’ud Ahmad, S.I.K. Sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas wilayah hukum meliputi kawasan Danau Singkarak, publik menunggu tindakan nyata, bukan sekadar komitmen seremonial atau janji media.
Truk-truk pengangkut hasil galian bahkan dilaporkan melintas setiap hari di depan Polsek tanpa hambatan, seolah aktivitas tersebut “resmi” di mata aparat.
“Kalau Polres Solok Kota diam, masyarakat bisa salah paham. Ini bukan tuduhan, tapi ajakan agar Kapolres segera bertindak dan menunjukkan bahwa hukum masih punya taring,” lanjut Ketua LMR RI Sumbar.
Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Selain itu, karena lokasi tambang berada di kawasan konservasi air Danau Singkarak, kegiatan tersebut juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Dari sisi kepolisian, Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 menegaskan bahwa tugas Polri adalah memelihara ketertiban, menegakkan hukum, serta melindungi masyarakat. Maka, setiap aktivitas ilegal di wilayah hukumnya menjadi tanggung jawab moral dan hukum pimpinan kepolisian setempat.
Ujian Integritas bagi AKBP Mas’ud Ahmad
Kasus ini menjadi ujian integritas bagi Kapolres Solok Kota AKBP Mas’ud Ahmad, S.I.K. Apakah ia akan tampil sebagai penegak hukum sejati atau justru penonton di tengah pelanggaran terang-terangan?
LMR RI Sumbar menegaskan siap membawa laporan dan data lapangan ke Kejaksaan Tinggi Sumbar dan Mabes Polri jika tidak ada langkah nyata di tingkat daerah.
“Kami lembaga resmi. Kami punya bukti lapangan. Kalau Polres tidak bergerak, kami akan naikkan ke tingkat pusat,” tegas Sutan Hendi.
Masyarakat kini menanti bukti nyata, bukan sekadar pernyataan normatif. Danau Singkarak bukan hanya aset wisata, tetapi juga warisan ekologis dan sumber ekonomi ribuan warga. Jika dibiarkan rusak karena pembiaran terhadap galian C ilegal, maka yang hilang bukan sekadar pasir dan tanah — tapi masa depan lingkungan dan integritas hukum itu sendiri.
Apakah AKBP Mas’ud Ahmad akan menutup mata, atau membuka langkah tegas demi menjaga kehormatan institusinya? (Yandra)

%20-%20Dibuat%20dengan%20PosterMyWall%20(2)%20(1).jpg)
Komentar0